Hakikat Ketimpangan
Sosial
Berdasarkan
definisi dari Naidoo dan Wills dalam Warwick-Booth (2013). Ketimpangan sosial
merupakan perbedaan-perbedaan dalam pemasukan (income), sumber daya (resources),
kekuasaan (power) dan status di dalam dan antara masyarakat. Ketimpangan ini
dipertahankan oleh orang-orang yang berkuasa melalui institusi dan
proses-proses social.
Menurut
Andrinof Chaniago (2012), ketimpangan sosial adalah sebuah dari pembangunan
yang hanya berfokus pada aspek ekonomi dan melupakan aspek social. Ketimpangan
sosial karena pengambil kebijakan cenderung menganggap pertumbuhan ekonomi,
meningkatnya pendapatan perkapita, dan pembangunan infrastruktur adalah tujuan
utama pembangunan. Jadi, mereka mengabaikan sikap dan perilaku sosial individu,
corak ekonomi tradisional, serta keunikan yang terdapat di berbagai tempat.
Ketimpangan
sosial ditandai ketidaksetaraan peluang dan penghargaan untuk posisi sosial
yang berbeda atau status dalam kelompok atau masyarakat. Ini termasuk pola
terstruktur dan berulang dan tidak merata dari distribusi barang, kekayaan,
kesempatan, penghargaan dan hukuman.
Ketimpangan
sosial tidak sama dengan perbedaan sosial yang dikategorikan ke dalam
stratifikasi dan diferensiasi social. Ketimpangan sosial dapat dikategorikan
sebagai masalah sosial karena terdapat ketidakadilan dalam pemberian kontribusi
kepada masyarakat dari berbagai aspek kehidupan.
Keadilan
sosial bukan berarti bahwa perbedaan kemampuan dan prestise seseorang harus
diperlakukan sama, melainkan perbedaan tersebut harus diperlakukan secara
proporsional. Pancasila mengamanatkan dalam sila kelima tentang “Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” yang realisasinya harus tercermin dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dilaksanakan oleh penyelenggara
negara dan masyarakat. Namun, pada kenyataannya, ketidakadilan tetap kita
jumpai dalam hidup ini. Berikut ini adalah prinsip-prinsip ketidakadilan
a)
Elitisme
efisien
b)
Pengecualian
diperlukan
c)
Prasangka
adalah wajar
d)
Keserakahan
adalah baik, dan
e)
Putus
asa tidak bisa dihindari
Ketidakadilan sosial tersebut berbentuk marjinalisasi, stereotip, subordinasi, dan dominasi. Marginalisasi adalah proses pemutusan hubungan kelompok-kelompok tertentu dengan lembaga sosial utama. Semakin besar perbedaan, semakin mudah bagi kelompok dominan untuk meminggirkan kelompok lemah. Stereotip adalah pemberian sifat tertentu secara subjektif terhadap seseorang berdasarkan kategori tertentu, misalnya perbedaan antara kami dan mereka. Subordinasi adalah pembedaan perlakuan identitas tertentu, misalnya pembedaan kelompok mayoritas dan kelompok minoritas. Dominasi adalah kondisi dengan ciri satu kelompok memegang kekuasaan secara sewenang-wenang.
Ketimpangan Sosial
Dalam Sejarah
Ketimpangan
bukan hal yang baru. Ada banyak contoh ketimpangan sosial dalam sejarah. Sebagai
contoh, pembangunan zaman Romawi menggunakan para budak. Sistem feodal
kepemilikan tanah pun hadir, yaitu para budak mengolah tanah, sementara Raja
memiliki tanah dan memerintah kerajaan.
Secara
historis, ketimpangan terkait dengan kepemilikan tanah. Namun, Revolusi
industri mengubah struktur masyarakat dan sumber penciptaan kekayaan. Tulisan
para sosiolog pada abad ke-19 menunjukkan bahwa akademisi pun mulai tertarik
pada keberadaan kesenjangan sosial dan membuat teori tentang hal itu. Sumber
kekayaan tidak lagi pada kepemilikan tanah tetapi pada kepemilikan alat-alat
produksi seperti pabrik. Ketimpangan terjadi antara para pemilik alat produksi
dan para buruh yang menawarkan tenaga mereka di pasar tenaga kerja.
Max Weber mengambil perspektif ekonomi politik untuk menghasilkan analisis yang menggambar bahwa posisi sosial dari seseorang bergantung pada peluang hidupnya di pasar kerja. Weber juga berfokus pada analisis kekuasaan dan menyimpulkan bahwa prestise dan status sama pentingnya dalam menciptakan hierarki social. Dia Melihat posisi sosial tidak terlalu kaku dan mobilitas sosial sebagai proses tempat individu dapat bergerak ke atas dalam skala social. Ide mobilitas sosial sendiri tetap relevan seperti yang sering dibahas dalam pendekatan kebijakan mengatasi ketimpangan social. Sejumlah politisi menunjukkan mobilitas sosial mungkin terjadi dan orang akan menemukan tempat alami mereka dalam tatanan social.
Bentuk-Bentuk
Ketimpangan Social
Sampai
saat ini, ketimpangan sosial masih saja menjadi masalah di sebagian negara
dunia. Permasalahan ini tidak hanya terjadi di negara berkembang, tetapi juga
terjadi di negara maju. Indonesia sebagai negara berkembang juga mengalami
ketimpangan social. Menurut Andrinof Chaniago, paling tidak terdapat enam
ketimpangan yang terjadi yaitu sebagai berikut (Syamsul Hadi, dkk, 2004).
1.
Ketimpangan
desa dan kota
2.
Kesenjangan
pembangunan diri manusia Indonesia
3. Ketimpangan
antar golongan sosial ekonomi yang diperlihatkan dengan semakin meningkatnya
kesenjangan ekonomi antara golongan-golongan dalam masyarakat
4.
Ketimpangan
penyebaran aset dikalangan swasta dengan ciri Sebagai besar kepemilikan aset di
Indonesia terkonsentrasi pada skala besar
5. Ketimpangan
antarsektor ekonomi dengan ciri sebagian sector, misalnya property, mendapat
tempat yang istimewa
6.
Ketimpangan
antarwilayah dan subwilayah dengan ciri konsentrasi ekonomi terpusat pada
wilayah perkotaan, terutama ibukota, sehingga daerah hanya mendapatkan
konsentrasi ekonomi yang sangat kecil.
Faktor Penyebab
Ketimpangan Sosial
Faktor Struktural
Faktor
struktural berkaitan erat dengan tata kelola yang merupakan kebijakan
pemerintah dalam menangani masyarakat, baik yang bersifat legal formal maupun
kebijakan-kebijakan dalam pelaksanaannya. Faktor struktural dapat kita
ibaratkan sebagai “jaringan listrik” yang berfungsi sebagai penyalur energi
yang memberi akses ke masyarakat agar dapat dioptimalkan energinya untuk
pembangunan diri dan bangsa.
Negara
seperti Indonesia yang wilayahnya sangat luas dan masyarakatnya majemuk jelas
memiliki potensi konflik yang besar juga. Namun, apabila dikelola dengan baik
oleh pemerintah dan masyarakat, potensi konflik tersebut dapat menjadi sumber
dinamika untuk mempercepat pembangunan. Oleh karena itu, penyelenggara negara
atau pemerintah harus mampu menjadi dinamisator, mediator dan katalisator
hubungan sehingga kebijakan pemerintah dapat identik dengan keinginan
masyarakat.
a. Sebagai
dinamisator, pemerintah berkewajiban menumbuhkembangkan simpati para
penyelenggara negara terhadap masyarakat dan pula simpati masyarakat terhadap
pemerintah pemerintah
b. Sebagai
mediator berarti harus mampu berlaku adil dalam menyelesaikan masalah di
masyarakat dan memiliki wawasan kebangsaan yang kuat. ini juga berarti
kepentingan pribadi atau golongan tidak boleh diutamakan. Kepentingan bangsa
dan negara harus dijadikan prioritas utama
c. Pemerintah
sebagai katalisator harus mampu mengarahkan diri sebagai pengaruh dan
pengendali permasalahan yang muncul dari kebijakan yang dikeluarkannya. Fungsi
pemerintah sebagai katalis menyangkut hal manajemen kebijakan, regulasi,
penjaminan keadilan, pencegahan diskriminasi atau eksploitasi, serta penjaminan
kesinambungan dan stabilitas pelayanan. Pelaksanaan kebijakan yang harus
dikerjakan sendiri oleh pemerintah, tetapi dapat bekerjasama atau diserahkan
pada swasta agar potensi swasta dapat berkembang dan berkontribusi dalam
pembangunan. Hal ini karena pembangunan adalah tanggung jawab bersama antara
pemerintah dan masyarakat, termasuk pihak swasta.
Faktor Kultural
Faktor
kultural atau budaya masyarakat dapat kita ibaratkan sebagai tenaga listrik
atau energi penggerak kehidupan masyarakat. Hal ini berkaitan dengan sifat atau
karakter masyarakat dalam melaksanakan kehidupannya, apakah ia malas atau rajin,
ulet atau mudah menyerah, jujur atau menghalalkan berbagai cara, suka berkompetisi
atau menerima apa adanya, dan seterusnya.
Kultur
atau budaya masyarakat berkaitan dengan nilai-nilai yang dianut oleh suatu
masyarakat. Sebagai contoh, masyarakat yang tidak memiliki orientasi ke depan
dan sudah merasa cukup dengan apa yang dimilikinya. Mereka menganggap budaya
hemat, suka menabung, dan membuat rencana tidak diperlukan. Ini terjadi karena
mereka merasa kebutuhannya sudah tercukupi oleh sumber daya alam yang ada di
sekitarnya. Namun, Apabila sumber alamnya Kian menipis sedangkan kemampuan
berusahanya lemah, maka kemiskinan yang akan mereka peroleh. Kasusnya tentu
berbeda dengan orang yang memiliki orientasi ke masa depan. Bagi mereka, segala
sesuatunya direncanakan, suka berinvestasi, baik Ilmu maupun materi, sehingga
mereka akan mampu mengembangkan potensi hidupnya agar sukses.
Budaya
birokrat yang biasa dimiliki oleh penyelenggara pemerintah juga memiliki andil
terjadinya ketimpangan social, yaitu adanya mental arogan yang merasa memiliki
kekuasaan untuk menentukan segala yang menjadi wewenangnya. Akibatnya, ada yang
cenderung berperilaku sewenang-wenang tanpa menyadari bahwa kekuasaan yang
dimiliki merupakan amanat dari rakyat dalam rangka melayani masyarakat. Oleh
karena itu, faktor budaya sangatlah penting dibenahi untuk dapat
menumbuhkembangkan nilai-nilai produktif dalam mengatasi ketimpangan sosial
agar tercipta keadilan social.
11 komentar:
done_yessika violentina
done_Aqeela Putri Fauzi
Done_ Rafli Adam Maulana (XII IPS 2)
Done_Nazwa Shadella Tadjudin
Done_cecilia lemima
done_Nanda riska aulia
Done_Camila Nurhaliza
Done_tiara oktaviani
done_syifa khalisa
done_Siti Manzilah
done_Chatrine Gabriela Damanik
Posting Komentar