Rabu, 21 Oktober 2020

Hakikat, Bentuk, dan Faktor Penyebab Ketimpangan Sosial

  


Hakikat Ketimpangan Sosial

Berdasarkan definisi dari Naidoo dan Wills dalam Warwick-Booth (2013). Ketimpangan sosial merupakan perbedaan-perbedaan dalam pemasukan (income), sumber daya (resources), kekuasaan (power) dan status di dalam dan antara masyarakat. Ketimpangan ini dipertahankan oleh orang-orang yang berkuasa melalui institusi dan proses-proses social.

Menurut Andrinof Chaniago (2012), ketimpangan sosial adalah sebuah dari pembangunan yang hanya berfokus pada aspek ekonomi dan melupakan aspek social. Ketimpangan sosial karena pengambil kebijakan cenderung menganggap pertumbuhan ekonomi, meningkatnya pendapatan perkapita, dan pembangunan infrastruktur adalah tujuan utama pembangunan. Jadi, mereka mengabaikan sikap dan perilaku sosial individu, corak ekonomi tradisional, serta keunikan yang terdapat di berbagai tempat.

Ketimpangan sosial ditandai ketidaksetaraan peluang dan penghargaan untuk posisi sosial yang berbeda atau status dalam kelompok atau masyarakat. Ini termasuk pola terstruktur dan berulang dan tidak merata dari distribusi barang, kekayaan, kesempatan, penghargaan dan hukuman.

Ketimpangan sosial tidak sama dengan perbedaan sosial yang dikategorikan ke dalam stratifikasi dan diferensiasi social. Ketimpangan sosial dapat dikategorikan sebagai masalah sosial karena terdapat ketidakadilan dalam pemberian kontribusi kepada masyarakat dari berbagai aspek kehidupan.

Keadilan sosial bukan berarti bahwa perbedaan kemampuan dan prestise seseorang harus diperlakukan sama, melainkan perbedaan tersebut harus diperlakukan secara proporsional. Pancasila mengamanatkan dalam sila kelima tentang “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” yang realisasinya harus tercermin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dilaksanakan oleh penyelenggara negara dan masyarakat. Namun, pada kenyataannya, ketidakadilan tetap kita jumpai dalam hidup ini. Berikut ini adalah prinsip-prinsip ketidakadilan

a)    Elitisme efisien

b)    Pengecualian diperlukan

c)    Prasangka adalah wajar

d)    Keserakahan adalah baik, dan

e)    Putus asa tidak bisa dihindari

Ketidakadilan sosial tersebut berbentuk marjinalisasi, stereotip, subordinasi, dan dominasi. Marginalisasi adalah proses pemutusan hubungan kelompok-kelompok tertentu dengan lembaga sosial utama. Semakin besar perbedaan, semakin mudah bagi kelompok dominan untuk meminggirkan kelompok lemah. Stereotip adalah pemberian sifat tertentu secara subjektif terhadap seseorang berdasarkan kategori tertentu, misalnya perbedaan antara kami dan mereka. Subordinasi adalah pembedaan perlakuan identitas tertentu, misalnya pembedaan kelompok mayoritas dan kelompok minoritas. Dominasi adalah kondisi dengan ciri satu kelompok memegang kekuasaan secara sewenang-wenang.

Ketimpangan Sosial Dalam Sejarah

Ketimpangan bukan hal yang baru. Ada banyak contoh ketimpangan sosial dalam sejarah. Sebagai contoh, pembangunan zaman Romawi menggunakan para budak. Sistem feodal kepemilikan tanah pun hadir, yaitu para budak mengolah tanah, sementara Raja memiliki tanah dan memerintah kerajaan.

Secara historis, ketimpangan terkait dengan kepemilikan tanah. Namun, Revolusi industri mengubah struktur masyarakat dan sumber penciptaan kekayaan. Tulisan para sosiolog pada abad ke-19 menunjukkan bahwa akademisi pun mulai tertarik pada keberadaan kesenjangan sosial dan membuat teori tentang hal itu. Sumber kekayaan tidak lagi pada kepemilikan tanah tetapi pada kepemilikan alat-alat produksi seperti pabrik. Ketimpangan terjadi antara para pemilik alat produksi dan para buruh yang menawarkan tenaga mereka di pasar tenaga kerja.

Max Weber mengambil perspektif ekonomi politik untuk menghasilkan analisis yang menggambar bahwa posisi sosial dari seseorang bergantung pada peluang hidupnya di pasar kerja. Weber juga berfokus pada analisis kekuasaan dan menyimpulkan bahwa prestise dan status sama pentingnya dalam menciptakan hierarki social. Dia Melihat posisi sosial tidak terlalu kaku dan mobilitas sosial sebagai proses tempat individu dapat bergerak ke atas dalam skala social. Ide mobilitas sosial sendiri tetap relevan seperti yang sering dibahas dalam pendekatan kebijakan mengatasi ketimpangan social. Sejumlah politisi menunjukkan mobilitas sosial mungkin terjadi dan orang akan menemukan tempat alami mereka dalam tatanan social.

Bentuk-Bentuk Ketimpangan Social

Sampai saat ini, ketimpangan sosial masih saja menjadi masalah di sebagian negara dunia. Permasalahan ini tidak hanya terjadi di negara berkembang, tetapi juga terjadi di negara maju. Indonesia sebagai negara berkembang juga mengalami ketimpangan social. Menurut Andrinof Chaniago, paling tidak terdapat enam ketimpangan yang terjadi yaitu sebagai berikut (Syamsul Hadi, dkk, 2004).

1.    Ketimpangan desa dan kota

2.    Kesenjangan pembangunan diri manusia Indonesia

3. Ketimpangan antar golongan sosial ekonomi yang diperlihatkan dengan semakin meningkatnya kesenjangan ekonomi antara golongan-golongan dalam masyarakat

4.    Ketimpangan penyebaran aset dikalangan swasta dengan ciri Sebagai besar kepemilikan aset di Indonesia terkonsentrasi pada skala besar

5. Ketimpangan antarsektor ekonomi dengan ciri sebagian sector, misalnya property, mendapat tempat yang istimewa

6.    Ketimpangan antarwilayah dan subwilayah dengan ciri konsentrasi ekonomi terpusat pada wilayah perkotaan, terutama ibukota, sehingga daerah hanya mendapatkan konsentrasi ekonomi yang sangat kecil.

 

Faktor Penyebab Ketimpangan Sosial

Faktor Struktural

Faktor struktural berkaitan erat dengan tata kelola yang merupakan kebijakan pemerintah dalam menangani masyarakat, baik yang bersifat legal formal maupun kebijakan-kebijakan dalam pelaksanaannya. Faktor struktural dapat kita ibaratkan sebagai “jaringan listrik” yang berfungsi sebagai penyalur energi yang memberi akses ke masyarakat agar dapat dioptimalkan energinya untuk pembangunan diri dan bangsa.

Negara seperti Indonesia yang wilayahnya sangat luas dan masyarakatnya majemuk jelas memiliki potensi konflik yang besar juga. Namun, apabila dikelola dengan baik oleh pemerintah dan masyarakat, potensi konflik tersebut dapat menjadi sumber dinamika untuk mempercepat pembangunan. Oleh karena itu, penyelenggara negara atau pemerintah harus mampu menjadi dinamisator, mediator dan katalisator hubungan sehingga kebijakan pemerintah dapat identik dengan keinginan masyarakat.

a. Sebagai dinamisator, pemerintah berkewajiban menumbuhkembangkan simpati para penyelenggara negara terhadap masyarakat dan pula simpati masyarakat terhadap pemerintah pemerintah

b.  Sebagai mediator berarti harus mampu berlaku adil dalam menyelesaikan masalah di masyarakat dan memiliki wawasan kebangsaan yang kuat. ini juga berarti kepentingan pribadi atau golongan tidak boleh diutamakan. Kepentingan bangsa dan negara harus dijadikan prioritas utama

c.  Pemerintah sebagai katalisator harus mampu mengarahkan diri sebagai pengaruh dan pengendali permasalahan yang muncul dari kebijakan yang dikeluarkannya. Fungsi pemerintah sebagai katalis menyangkut hal manajemen kebijakan, regulasi, penjaminan keadilan, pencegahan diskriminasi atau eksploitasi, serta penjaminan kesinambungan dan stabilitas pelayanan. Pelaksanaan kebijakan yang harus dikerjakan sendiri oleh pemerintah, tetapi dapat bekerjasama atau diserahkan pada swasta agar potensi swasta dapat berkembang dan berkontribusi dalam pembangunan. Hal ini karena pembangunan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat, termasuk pihak swasta.

 

Faktor Kultural

Faktor kultural atau budaya masyarakat dapat kita ibaratkan sebagai tenaga listrik atau energi penggerak kehidupan masyarakat. Hal ini berkaitan dengan sifat atau karakter masyarakat dalam melaksanakan kehidupannya, apakah ia malas atau rajin, ulet atau mudah menyerah, jujur atau menghalalkan berbagai cara, suka berkompetisi atau menerima apa adanya, dan seterusnya.

Kultur atau budaya masyarakat berkaitan dengan nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat. Sebagai contoh, masyarakat yang tidak memiliki orientasi ke depan dan sudah merasa cukup dengan apa yang dimilikinya. Mereka menganggap budaya hemat, suka menabung, dan membuat rencana tidak diperlukan. Ini terjadi karena mereka merasa kebutuhannya sudah tercukupi oleh sumber daya alam yang ada di sekitarnya. Namun, Apabila sumber alamnya Kian menipis sedangkan kemampuan berusahanya lemah, maka kemiskinan yang akan mereka peroleh. Kasusnya tentu berbeda dengan orang yang memiliki orientasi ke masa depan. Bagi mereka, segala sesuatunya direncanakan, suka berinvestasi, baik Ilmu maupun materi, sehingga mereka akan mampu mengembangkan potensi hidupnya agar sukses.

Budaya birokrat yang biasa dimiliki oleh penyelenggara pemerintah juga memiliki andil terjadinya ketimpangan social, yaitu adanya mental arogan yang merasa memiliki kekuasaan untuk menentukan segala yang menjadi wewenangnya. Akibatnya, ada yang cenderung berperilaku sewenang-wenang tanpa menyadari bahwa kekuasaan yang dimiliki merupakan amanat dari rakyat dalam rangka melayani masyarakat. Oleh karena itu, faktor budaya sangatlah penting dibenahi untuk dapat menumbuhkembangkan nilai-nilai produktif dalam mengatasi ketimpangan sosial agar tercipta keadilan social.

11 komentar:

Unknown mengatakan...

done_yessika violentina

Unknown mengatakan...

done_Aqeela Putri Fauzi

Unknown mengatakan...

Done_ Rafli Adam Maulana (XII IPS 2)

Nazwa shadella.T mengatakan...

Done_Nazwa Shadella Tadjudin

Unknown mengatakan...

Done_cecilia lemima

Unknown mengatakan...

done_Nanda riska aulia

Unknown mengatakan...

Done_Camila Nurhaliza

Unknown mengatakan...

Done_tiara oktaviani

Khalisasyifa mengatakan...

done_syifa khalisa

Unknown mengatakan...

done_Siti Manzilah

Unknown mengatakan...

done_Chatrine Gabriela Damanik

Posting Komentar