A. Berbagai Kebijakan Pemerintahan Kolonial yang Memicu Perlawanan Lokal
1. Kebijakan Portugis
a. Monopoli Perdagangan rempah-rempah
u Pasar monopoli adalah suatu bentuk pasar
di mana hanya terdapat satu penjual yang menguasai pasar. Penentu harga pada
pasar ini adalah seorang penjual atau sering disebut sebagai "monopolis“
u Faktor
internal berkontribusi terhadap gagalnya praktik monopoli portugis di malaka:
v
Kekurangan dana
v
Keterbatasan personel atau prajurit
v
Perilaku koruptif pejabat-pejabat portugis (turut
berdagang untuk kepentingan pribadinya )
u Faktor
eksternal berkontribusi terhadap gagalnya praktik monopoli portugis di malaka:
Perlawanan yang dilakukan oleh Kesultanan Johor dan
Kesultanan Aceh
Gambar 1.1
Bangsa Portugis saat di Indonesia
Portugis
melakukan ekspedisi penyelidikan sumber rempah-rempah ke wilayah Hindia Timur,
yaitu kepulauan Maluku, dibawah pimpinan Francisco Serrao. Pada tahun yang
sama, bangsa portugis juga berupaya menjalin persekutuan dengan Kerajaan Sunda
Pajajaran. Persekutuan ini awalnya atas inisiatif Kerajaan Pajajaran. Tujuan
utamanya adalah mendapatkan perlindungan portugis terhadap ancaman ekspansi
Kesultanan Demak ke Pajajaran. Sebagai imbalannya, Kerajaan Pajajaran memberi
kebebasan kepada bangsa portugis untuk menerapkan monopoli perdagangan lada di
wilayah kekuasaannya, terutama di Pelabuhan Sunda Kelapa.
b. Penyebaran
agama Katolik
Isu Kontroversial hingga sekarang adalah
penyebaran agama Katolik oleh Misionaris Portugis di tengah komunitas Islam
yang telah mengakar seperti Maluku. Salah satu hipotesis menyatakan jika agama
menjadi salah satu pemicu, tentu sejak awal Ternate tidak akan menjalani
persekutuan dengan bangsa Potugis. Sebab, bagaimanapun bangsa Portugis memang
membawa misi penyebaran agama.
Sementara itu hipotesis lain menyatakan Ternate
baru menyadari adanya misi eagamaan Portugis dikemudian hari, kerena agama
Islam telah mengakar di kedua kesultanan itu, mungkin saja penyebaran agama
katolik menjadi faktor lain yang melatar belakangi perlawanan
2. Kebijakan VOC dan Pemerintahan Kolonial Belnda
a. Monopoli Perdagangan Rempah-rempah
Dengan
monopoli harga dan jumlah komoditas dagang, seperti rempah-rempah, ditentukan
VOC (Belanda). VOC menerapkan kebijakan ekstirpasi (membakar/memusnahkan
rempah2 yg harga jualnya rendah/sudah terlalu banyak) dan pelayaran
hongi (suatu sistem
keamanan yang digunakan Belanda untuk mengawasi, menjaga, dan mencegah
terjadinya pelanggaran atas perdagangan rempah2 di Indonesia).
Dampak kebijakan ekstirpasi dan pelayaran hongi
:
u Runtuhnya
wibawa dan martabat raja-raja pribumi karena wilayahnya dikuasai
u Raja-raja
diasingkan akibat menolak kebijakan VOC
u Kerajaan
dipecah belah
b. Campur Tangan Terhadap Masalah Internal Kerajaan
Campur
tangan (intervensi) terhadap masalah internal kerajaan merupakan bagian dari
upaya melancarkan monopoli perdagangan. Campur tangan umumnya terjadi ketika
terjadi perebutan takhta di dalam istana.
Dalam
hal tersebut VOC akan berupaya memperuncing persoalan atau melakukan politik
pecah belah dengan memihak salah satu kubu yang bersedia bekerjasama dengan
VOC, yaitu :
u mengakui
kebijakan monopoli VOC
u mengizinkan
VOC menguasai sebagain wilayah kerajaan
u menyerahkan
kedaulatan kepada VOC sebagaimana pernah terjadi di Surakarta pada tahun 1749
u Mendapat
dukungan militer dan finansial VOC besar
u Pengangkatan
pejabat-pejabat keratin
u Penentuan
kebijakan ekonomi-politik kerajaan
u Perebutan
takhta kekuasaan
c. Ekspansi wilayah demi melancarkan kebijakan pintu
terbuka
Ekspansi
adalah peningkatan aktivitas ekonomi dan pertumbuhan dunia
usaha.
Politik Pintu Terbuka ialah pemberlakukan politik kolonial
liberal di negara Indonesia. Dalam kebijakan politik pintu terbuka ini,
pemerintahan Belanda berpendapat bahwa pemerintah hanya berperan sebagai
pengawas dalam bidang ekonomi, sedangkan pihak swasta berperan dalam kegiatan
ekonomi di negara Indonesia.
Sejak
kebijakan pintu terbuka diberlakukan pada tahun 1870, Belanda gencar melakukan
ekspansi ke wilayah-wilayah kerajaan yang sebelumnya merdeka. Wilayah yang
ingin dikuasai Belanda yaitu Tapanuli yang menjadi wilayah kerajaan batak dan
Kalimantan bagian selatan yang menjadi wilayah kekuasaan kesultanan Banjar.
Termasuk dalam wilayah tapanuli adalah simalungun, tanah karo, angkola,
sipirok, dan mandailing. Tujuannya untuk dijadikan lahan bagi
perkebunan-perkebunan besar swasta asing serta memudahkan eksploitasi bahan
galian mineral.
Gambar 1.2
Perang Aceh
Semakin
digencarkan belanda sejak tahun 1870 karena atas penguasaan atas
wilayah-wilayah. Ekspansi ini mendapat perlawanan sengit dari kerajaan batak
dan kesultanan aceh. Bagi kedua kerajaan ini perang dengan Belanda tidak hanya
mempertaruhkan kepentingan ekonomi-politik semata, tetapi juga martabat dan
harga diri kerajaan
d. Arogansi Benda Terhadap Kerajaan Pribumi
Perang
terhadap Belanda juga dilancarkan karena arogansi serta kesewenang-wenangan
Belanda terhadap bangsawan dan raja-raja pribumi. Belanda kerap memperlakukan
para bangsawan dan raja pribumi sebagai bawahan. Adat istiadat, kebiasaan,
aturan, serta hak istimewa mereka tidak dihormati oleh Belanda. Contohnya : perang Diponogoro pada tahun 1825
– 1930 dan perlawanan kerajaan-kerajaan di Bali pada tahun 1846 - 1849
Gambar 1.3
Perang DIponogoro
Gambar 1.4
Perlawanan Kerajaan-kerajaan di Bali
e. Praktik Diskriminasi Terhadap Penduduk Pribumi
Pada
Masa Kolonial penduduk Indonesia digolong-golongkan atas dasar ras, dar yang
paling tinggi status sosialnya (orang Eropa) sampai yang paling rendah
(penduduk pribumi)
u Golongan
Eropa
u Golongan
Indo (keturunan campuran pribumi dan Eropa)
u Golongan
keturunan Timur Asing (Tiongkok, India, dan Arab)
u Golongan
Pribumi (Indonesia) atau inlander : Golonga Bangsawan/Ningrat dan Golongan
Rakyat Biasa
Gambar 1.5
Pendidikan Pada Masa Kolonialisme
f. Penderitaan Rakyat Akibat Sistem Tanam Paksa,
Kebijakan Pintu Terbuka, serta Politik Etis
Rakyat
Jelata adalah mereka yang paling merasakan dampak negative dari berbagai
kebijakan Belnda, seperti monopoli perdagangan, pajak, tanam paksa kebijakan
pintu terbuka, dan politik etis.
Kebijakan
Tanam Paksa, menjadi penyebab terjadinya kelaparan hebat di Cirebon (Jawa
Barat) pada tahun 1843 dan di Jawa Tengah, seperti di daerah Grobongan, antara
tahun 1848 – 1850
Gambar 1.6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar